Selayaknya bunga
pasti akanlah layu juga, ia hanyalah keindahan yang sifatnya sementara.
Begitulah dunia yang tidak lain hanyalah
sebatas persinggahan saja. Suatu ketika Rasulullah Shalallu ‘alaihi wa sallam
pernah berpesan kepada Umar radiyallahu’anhum sambil memegang pundaknya “Jadilah enkgau di dunia ini seperti orang
asing atau bahkan seperti orang yang sedang lewat (musafir) (Hadist Riwayat
Al-Bukhari)”. Begitulah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan
kehidupan dunia ini. Betapa singkatkatnya kehidupan di dunia ini dan
sepantasnya kita tidaklah berangan-angan panjang terhadap kehidupan dunia yang
fana ini. Karena dunia hanyalah sebatas persinggahan, maka sebagai seorang
mukmim hendaklah kita menumbuhkan dua sikap yang harus kita pegang yaitu sikap
pertama seperti orang asing yang singgah di tempat yang asing, tentu saja yang
namanya persinggahan cepat atau lambat akan bergegas pergi dan kembali ke
tempat asalnya. Kemudian yang kedua seperti orang musafir yang tidak menetap
dan akan terus melanjutkan perjalanan sampai ke tempat tujuannya.
Perumpamaan
kesenangan dunia ini hanyalah seperti orang –orang yang berada dalam sebuah
permainan yang melalaikan dimana permainan itu nantinya akan berakhir dan tidak
lain hanyalah menyisakan kelelahan saja bagi kita. Jika kita mau bersabar
sebentar saja, menikmati perjalanan ini dengan proses-proses yang baik,
,mengisinya dengan aktivitas-aktivitas yang tidak merenggangkan hubungan kita
dengan Allah Subhana Wata’ala, maka akan mudah saja bagi Allah membuat hati
kita menjadi hati yang tenang. Karena sesungguhnya ketenangan yang abadi adalah
ketika kita bisa melibatkan Allah dalam setiap langkah kita. Seperti firman
Allah Subhana wata’ala dalan Surah Ar-Ra’du ayat 28 yang menyatakan “Orang-orang yang beriman hati mereka menjadi
tentram dengan berdzikir (mengingat Allah). Ingatlah hanya dengan mengingat
Allah hati menjadi tenang”. Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar
mendatangkan ketenangan dan kebahagian hati manusia melainkan hanyalah
berdzikir kepada Allah Subhana Wata’ala.
Fenomena
memuja-muja dunia dan menganggap dunia ini adalah segalanya merupakan hal yang
tidak asing lagi. Karena berapa banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk
mengejar-ngejar kesenangan dunia, justru malah tidak pernah mendapatkan
ketenangan yang hakiki. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi setiap insan
untuk terus berbenah memperbaiki diri agar tidak menjadikan dunia ini sesuatu
yang abadi. Salah seorang ulama Salaf pernah berkata “Sungguh kasihan orang-orang yang mencintai dunia, mereka pada akhirnya
akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang
paling besar di dunia ini, kemudian ada yang bertanya, Apakah kenikmatan yang
paling besar di dunia ini? Lalu Ulama tersebut menjawab, ialah cinta kepada
Allah Subhanna wata’ala, merasa tenang jika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu
untuk bertemu dengan-Nya serta merasa senang ketika berdzikir dan mengamalkan
ketaatan pada-Nya. Siapa yang tidak ingin mendapatkan ketenangan dunia? Tentu
saja setiap manusia ingin mendapatkannya. Tapi apakah ingin saja sudah cukup?
Tentu saja tidak. Kita membutuhkan ikhtiar dan doa yang kuat untuk bisa
meraihnya, karena sungguh hati manusia sifatnya terbolak-balik dan hanya Allah
Subhana wata’ala yang mampu menetapkan keteguhan di atas agama-Nya. Maka
mintalah pada Allah Subhanna wata’ala untuk senantias membimbing perjalanan
hidup kita di dunia yang hanya sebentar ini.
Sebagai seorang
mukmin tentu tugas kita sangatlah banyak, tidak hanya sebatas meyakinkan diri
kita sendiri untuk tetap teguh dalam nilai-nilai kebaikan. Namun di samping itu
ada amanah yang harus kita tuntaskan untuk bisa menjadi pelopor kebaikan bagi
orang-orang disekitar kita dan menjadi alarm pengingat untuk selalu
meningkatkan ketaatan pada Allah Subhana wata ‘ala.
Terkadang kita sibuk membenahi diri sendiri sampai-sampai lupa bahwa ada
saudara-saudara kita yang mebutuhkan sentuhan kelembutan dari kita. Karena baik
sendiri saja tidaklah cukup. Kita haruslah menjadi insan yang bisa
menginspirasi dan menjadi contoh yang baik bagi saudara-saudara kita dan
senantiasa menularkan energi-energi positif. Percayalah bahwa kebaikan-kebaikan
yang kita usahakan akan berbuah kebaikan pula.
Menjadi pelopor
kebaikan tidaklah mudah, akan ada banyak godaan-godaan yang akan menghampiri. Bahkan bisa saja futur
mengiringi. Tapi inilah yang namanya usaha dan tekad yang kuat. Kita hanya
perlu membiasakan diri dan berusaha untuk mengistiqomahkannya. Suatu ketika
saya pernah mengenal seseorang yang begitu sangat baik perangainya, lembut
kata-katanya, Dia adalah salah seorang yang pernah menjadi guru PPL ketika di
Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebut saja namanya pak Fahri. Beliau bukanlah
orang yang mengajar di kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) melainkan beliau
mengajar di kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Tetapi karena kesabaran dan
kepedulian beliau terhadap pendidikan, akhirnya dia mengajar di kelas IPA
dengan ilmu yang dimilikinya dan saya suka cara beliau berkomunkasi, tutur
katanya yang lembut dan cara penyampaiannya yang sopan dan santun. Suatu saat
Beliau menjadi pembimbing delegasi sekolah saya dalam perlombaan membuat peta
dari bahan bekas di salah satu universitas di negeri Medan dan Beliau
benar-benar totalitas membimbing kami sampai ke tahap presentasi di depan
profesor. Luar biasa sekali kesabaran beliau yang akan sangat panjang jika saya
urai satu persatu. Lantas apakah Beliau menuntut lebih? Tidak, Beliau hanya
ingin berbuat baik dan ikhlas tanpa menuntut lebih dari kami. Apa pelajaran
yang dapat di petik dari sini? Tidak lain adalah tentang sebuah semangat dan
energi positif yang dialirkan pada kami semua. Karena jika ingin berbuat baik
maka fokus saja pada perbuatan-perbuatan baik.
Jika kita membaca
lagi bagaimana perjuangan Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa sallam dalam
menyampaikan kebenaran maka kita akan merintih, menagis dan malu terhadap diri
kia sendiri. Kok rintangan yang sekecil ini mudah sekali membuat kita mundur
untuk terus berbuat kebaikan. Jangan sampai kebaikan-kebaikan malah ditutupi
dengan kejahatan-kejahatan. Bukankan kelak kehidupan ini akan kita
peranggungjawabkan di keadilan-Nya. Lantas apa yang membuat kita malas menambah
bekal untuk menghadap Allah? Bukankah seorang musafir membutuhkan bekal yang
banyak dalam perjalannanya? Lalu mengapa masih berleha-leha dengan kesenangan
dunia yang semu ini? Kita bukanlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
sudah di jamin masuk surga, bukan juga Uwais Al-Qarni yang terkenal di langit.
Tapi mengapa kita masih enggan totalitas menyuarakan kebenaran dan melemparkan
estafet kebaikan. Selayaknya kita perlu merenung, memperbanyak mengingat penghancur
kelezatan dunia yaitu kematian. Karena dengan mengingat kematian akan membuat
kita semakin merasa sangat lemah di hadapan Allah Subhana wata’ala. Sehingga
dengan begitu akan membuat kita kembali sadar bahwa kehidupan dunia ini
hanyalah sebuah pinjaman bagi kita.
Imam Hasan
Al-Bashri berkata “Bahwa diantara
berpalingnya Allah Subhanna wata’ala dari seorang hamba adalah Allah menjadikan
kesibukannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, astaqhfirullah,
semoga kita bukanlah bagian darinya. Semoga kita bisa Memanfaatkan waktu kita
sebaik mungkin, karena kita tidak akan
pernah tau kebaikan-kebaikan mana yang akan mengantarkan kita ke surga-Nya. Jika
kita kembali pada Firman Allah Subbhana wata’ala dalam surah Yunus ayat 7 yang
menerangkan tentang sikap manusia terhadap kehidupan dunia “Sesungguhnya
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami, merasa puas dengan
kehidupan dunia dan merasa tentram dengan kehidupan itu serta orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya adalah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan”.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar