Langsung ke konten utama

Berkaca Pada Sejarah


Terpikirkan tentang situasi negara yang semakin rumit, hukum yang antah berantah dan model kepemimpinan yang seakan menyengsarakan masyarakat (terlalu luas ya kalau bahas ke sini), tapi itulah realita yang ada. Kita ga bisa tutup mata dan telinga seolah tak melihat dan tak mendengar. Sebab kita adalah bagian dari negara, tak akan berdiri suatu negara tanpa adanya Rakyat (iya kita).
Tapi saya tidak akan mengupas terkait hal itu, melainkan dari sisi sejarah yang sudah menjadi catatan paling the best untuk dicontoh dan diterapkan dalam kehidupan bernegara. Sebab pola sejarah itu akan terus terulang. Contoh realnya adalah pendemic Corona ini yang sampai saat ini masih terbilang belum aman,  walaupun new normal sudah diterapkan. Perhatikanlah bagaimana pola sejarah itu menemui kita. Sedangkan ratusan tahun lalu wabah/pendemic ini juga pernah dialami oleh para sahabat.
Mari kita flashback kisah Abdullah bin Umar, seorang pemuda yang gemar bersedeqah dan ga pernah ninggalin sholat tahajjudnya, keren banget kan. Di samping itu, ia juga terkenal dengan keberaniannya menyuarakan kebenaran.
Ketika itu ia menghadiri sebuah pidato Al Hajajj, seorang Gubernur (penguasa yang kejam) dan menyela "Kamu adalah musuh Allah yang sudah menghalalkan apa yang diharamkan Allah". Terntaya Hajajj merasa terganggu dengan Abdullah bin Umar yang menyuarakan kebenaran, sehingga Hajjaj pun mengatur strategi halus, menyuruh seseorang untuk melukai Abdullah bin Umar, dengan sebuah tombak yang dibubuhi racun di ujungnya. Lalu tombak tersebut ditusuk ke kaki Abdullah bin Umar hingga jatuh sakit.
Tatkala Abdullah bin Umar sakit, Hajjaj pun datang menjenguk bagai pahlawan yang menawarkan kesejukan dan seolah tak tau apa2 "Wahai Abdullah,siapakah yang melakukan ini padamu"? Abdullah bin Umar tau, bahwa pelaku kejahatan yang menyerangnya adalah bagian dari ketidaksenangan seorang pemimpin terhadap keberadaannya. Tetapi itulah indahnya Islam, Abdullah tak membencinya.
Begitulah drama yang sudah tercipta sejak dulu, ia yang bersalah akan terkesan benar, saat dengan gagahnya menghampiri dan menjamin perlindungan. Kisah Abdullah bin Umar mengingatkan kita bahwa sejak dulu, strategi kejahatan terstruktur sudah ada, orang2 bertopeng juga banyak. Nah sekarang tinggal kitanya, mengambil pelajaran dari kisah2 para sahabat, para Nabi dan para ulama yang sudah lebih dulu mengalami pahit manisnya kehidupan.
Begitulah keberadaan sebuah negeri, akan ada masanya di pimpin oleh orang-orang yang zhalim (saya ga bilang pemimpin kita zhalim ya, note), but ini sebagai bahan intropeksi kita juga sebagai rakyat, banyak2 bercermin pada sejarah, sebab adakalanya seorang pemimpin itu cerminan rakyatnya. Maka mari sama2 kita perbaiki dari sekarang, kita persiapkan, generasi2 yang akan mengulang pola sejarah kebangkitan Islam, dimulai dari pendidikan.
Pendidikan adalah pembentukan, baik itu pola pikir, karakter dan cara bertindak. Maka seseorang yang memiliki karakter seperti Muhammad Al Fatih,  Shalahuddin Al Ayyubi, Khalid bin Walid, Imam Nawawi dan sederet karakter lainnya lainnya yang kita nantikan, adalah seseorang yang dadanya harus dipenuhi Kalam Allah (Al-Qur'an) terlebih dahulu, baru ilmu2 lainnya. Karena jika pondasinya saja tidak kuat, maka akan runtuhlah ia jika kelak menjadi pemimpin (Nasihat guru saya)... (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Allah Mencintai Kita

  Entah waktu yang begitu cepat memisahkan kebersamaan kita, atau kitanya yang terlalu kuat menambatkan cinta. Sehingga ketika waktunya selesai, kitapun masih mencari alasan untuk menetap. Tapi yang jelas karena Allah lah yang merekatkan hati-hati kita, dan kita tak ingin pisah dari kebersamaan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Mungkin seberat ini ya melepaskan itu...tapi biar bagaimanapun tugas kita akan berpindah dari satu pundak ke pundak yang lain. Regenerasi itu yang kelak akan meneruskan.. Penuh cinta dan kedamaian ketika Allah panggil kita satu persatu ke tempat yang lain, bergilir..sehingga linangan air mata itu perlahan-lahan jatuhnya... kita mencintai jalan ini... Dalam satu momen diskusi santai kita, pernah berucap "gimana ya kalau nanti kita ga di sini lagi, apakah kita sudah benar-benar menyiapkan regenerasi yang akan melanjutkan estafet dakwah ini?" Kekhawatiran itu menghampiri kita yang tengah menghitung hari beranjak pergi.. Ya Allah entah hati apa yang Engk

Nikmati Proses

Proses itu indah jika dijalani dengan hati yang ikhlas. Sebab ikhlas itu sendiri adalah keadaan dimana kau menyedikitkan untuk mengeluh atau bahkan tak ada kata-lata keluhan yang keluar dari lisan mu. Semua orang tau, semua orang merasakan bahwa lelah itu adalah bumbu dalam perjalanan hidup ini. Kita hanya perlu membangun semangat itu lebih kokoh lagi, mendirikan pundak-pundak yang tegar dan menjalankan proses ini sebagaimana mestinya sesuai koridor-koridor yang telah Allah terangkan dalam firman-Nya. Jangan lari dari aturan-Nya, sebab itu adalah kunci kita meraih ridho-Nya. Saya suka kali dengan kata-kata ini “Jangan minta Allah kurangi bebanmu, tapi mintalah Allah kuatkan pundakmu”. Memang begitulah layaknya kita. Tetaplah teguh. Jika permainan hidup ini laksana api yang membakar, maka biarlah ia membakar fisikmu tapi bukan imanmu. Jika jalanan panjang yang dilalui bagaikan jurang, maka jangan hiraukan panggilan-panggilan yang menginginkan kau jatuh.tetaplah fokus pada

Lukisan di Jalanan

Kerasnya medan jalanan Meneteskan luka yang kian merambah Melilitkan kisah keterpurukan hidup Sedang kita tak pernah melirik Bila saja bisa ku hapuskan Semua aspek kehancuran Kan ku pastikan tak ada lagi Praktek ketidakjujuran Tak ada lagi tangan-tangan mungil Yang berserakan di jalanan Manalah mungkin bias ku tatap Semua jeritan hati yang pilu Terluka oleh tangan yang penuh dosa Sebab aku bukanlah seorang yang berkuasa  Tapi ku yakin Kita kan menari dalam irama kedamaian Dalam batas-batas ketulusan Jum'at, 7 Juni 2013 Note: Tulisan abal-abal gendre puisi yang pertama kali terbit dan dibukukan masa-masa SMA